Rabu, 04 April 2012

Puisi Bahasa Indonesia tentang sebuah Pengkhiantan



PENGKHIANAT

Oleh : David Hendra M A


Kau tertawa
                Aku turut bersuka cita
Kau menangis
                Aku lebih nyaring menangis mengiringmu
Kau menunjukku, ”bedebah!”
                Aku terdiam
                Buru-buru kuambil cermin
                Lalu  melengos kembali padamu
                Dengan meluruskan telunjuk
                “BEDEBAH!!”

cerpen tentang tragedi cinta


AKU RELA BENCIMU MENGUBURKU

Angin pembawa rintik  bersemilir diluar sana. Masih bisa kudengar  riuh bulir air dari langit seolah menertawai sibukku dengan jenaka. Lalu lalang mesin beroda masih saja belum menurun intensitasnya-meski selarut ini-meski sebeku ini. Sebatang rokok masih setia menjaga jagaku untuk menyelesaikan sebuah cerpen yang mesti aku kirim ke sebuah redaktur majalah yang tak begitu terkenal seminggu lagi.
 *  * * * *

Sebulan yang lalu semua masih terkategorikan baik-baik saja.  Seorang perempuan yang setia menua bersama hingga ulang tahun perkawinan perak kami pada tahun ini. Pun juga dengan tiga anakku yang mampu membanggakan aku dan isteriku sebagai orang tua. Kami sekeluarga tak pernah kekurangan meski tak berkelebihan. Untuk kasus ini tak ada tuntutan lebih dalam do'aku.. Puji syukur dengan kesempurnaan anugerah ini.
Semua terasa baik saja hingga sesuatu ketika ada hal yang memaksaku berubah. Aku sering pulang larut. Memaki isteriku sekenanya tanpa perlu alibi pembenaran atas tindakanku. Aku sering mabuk meski acapkali tak terlalu mabuk saat mengganas pada keluargaku. Bahkan anak-anak sering terciprat kemarahanku bila sudah sampai pada tahap puncak.
“Bapak kenapa sering marah-marah sich? Padahal dulu nggak pernah aku tahu Bapak segalak sekarang,” tanya si bungsu yang duduk di bangku SMU Negeri favorit kota ini pada suatu pagi.
“Bapak terlalu pusing mikir ibumu,kamu sama dua adikmu,Nduk.”
“Kenapa?” sanggahnya penuh Tanya.
“Kamu belum saatnya tahu. Dan sekali lagi ada Tanya semisal maka aku tak segan menghardikmu,Nduk!”
Mengkerut juga nyali si bungsu mendengar ultimatumku. Langkah kakinya kulihat tak bersemangat memasuki kamarnya. Aku menutupi galauku dengan memalingkan mukaku. Mudah-mudahan sembabku karena air mata semalam tak terlihat oleh mereka : keluargaku.
* * * * *
Jemariku masih riang diatas tuts keyboard computer Pentium II yang kubeli awal tahun 2000-an. Sangat berbanding terbalik dengan hatiku yang benar-benar hancur selayak Hiroshima tahun 1945. Lebam dan makin lebam seperti dikikis radiasi nuklir. Sebuah efek bola salju yang entah sampai kapan aku mampu menahannya.
Tombol yang begitu sering kutekan : delete. Karena berkali-kali aku salah mengetik eja dengan benar karena konsentrasiku yang sering terkalahkan oleh lelah dan galau. Aku mual. Pening. Berkeringat dingin. Semua terasa sungguh sakit membabi buta.
Aku mesti puas, sedih atau galau. Nyata-nyata pagi ini bangunku tanpa mendapati isteriku dan ketiga anakku. Sepi sudut rumah serupa melompongnya hatiku tanpa mereka. Tentu ini bukan kondisi terbaik bagiku. Suwung.
"Mas, aku tak tahu mesti berkata apa. Aku menyesal mendapati kehangatanmu pada keluarga kita berubah. Kuharap kau mau mengerti betapa aku masih selalu menyayangimu bahkan delalu i sela-sela do'aku masih tersisip namamu. Jemput kami jika kau sudah kembali. Kembali sebagai suamiku dan ayah anak-anak kita, Mas." Kulipat selembar surat istriku yang tergeletak diatas ranjang. Cuma itu yang tersisa. Dan secarik itu makin menghantam dadaku. Aku makin luluh-lantak. Bening hangat menggelinding di kedua pipiku.
Dengan segala keletihan ini aku masih bertahan untuk menyelesaikan sebuah epik yang terbingkai dalam cerpen. Yang memang sependek umurku. Akupun lelah menjadi harimau yang harus menerkam kalian, keluargaku. Sebenarnya aku bukan harimau tulen. Aku rusa yang mesti merasa sebagai harimau karena sebab. Ketahuilah bahwasanya kebrutalanku adalah cintaku. Kangker otak stadium empat ini memaksaku menjauhkan kalian atasku. Teramat tiada kerelaan andai aku melihat buliran air mata kalian menangisi sakaratul mautku. Karena aku lagi-lagi tiada kerelaan kau menangisi jasadku dengan cintamu. Biarlah aku terkubur bersama cinta dan sayangku padamu keluargaku.
Mungkin inilah mangsa labuhku. Transisi dunia yang berefek pada sakit di titik kulminasi. Sesaat kurasa lubang hitam menyedotku amat kuat menuju cahaya diatas cahaya. Berikutnya dunia menggulita……………………………………………….

WELCOME to MY SITE!!Thanks for join with me!