AKU
RELA BENCIMU MENGUBURKU
Angin pembawa
rintik bersemilir diluar sana. Masih bisa kudengar riuh bulir air dari langit seolah menertawai
sibukku dengan jenaka. Lalu lalang mesin beroda masih saja belum menurun
intensitasnya-meski selarut ini-meski sebeku ini. Sebatang rokok masih setia
menjaga jagaku untuk menyelesaikan sebuah cerpen yang mesti aku kirim ke sebuah
redaktur majalah yang tak begitu terkenal seminggu lagi.
* * * *
*
Sebulan yang lalu semua masih
terkategorikan baik-baik saja. Seorang
perempuan yang setia menua bersama hingga ulang tahun perkawinan perak kami
pada tahun ini. Pun juga dengan tiga anakku yang mampu membanggakan aku dan
isteriku sebagai orang tua. Kami sekeluarga tak pernah kekurangan meski tak
berkelebihan. Untuk kasus ini tak ada tuntutan lebih dalam do'aku.. Puji syukur dengan kesempurnaan anugerah ini.
Semua terasa baik saja hingga sesuatu
ketika ada hal yang memaksaku berubah. Aku sering pulang larut. Memaki isteriku
sekenanya tanpa perlu alibi pembenaran atas tindakanku. Aku sering mabuk meski
acapkali tak terlalu mabuk saat mengganas pada keluargaku. Bahkan anak-anak sering
terciprat kemarahanku bila sudah sampai pada tahap puncak.
“Bapak kenapa sering marah-marah sich? Padahal
dulu nggak pernah aku tahu Bapak segalak sekarang,” tanya si bungsu yang duduk
di bangku SMU Negeri favorit kota ini pada suatu pagi.
“Bapak terlalu pusing mikir ibumu,kamu
sama dua adikmu,Nduk.”
“Kenapa?” sanggahnya penuh Tanya.
“Kamu belum saatnya tahu. Dan sekali
lagi ada Tanya semisal maka aku tak segan menghardikmu,Nduk!”
Mengkerut juga nyali si bungsu mendengar
ultimatumku. Langkah kakinya kulihat tak bersemangat memasuki kamarnya. Aku
menutupi galauku dengan memalingkan mukaku. Mudah-mudahan sembabku karena air
mata semalam tak terlihat oleh mereka : keluargaku.
* * * * *
Jemariku masih
riang diatas tuts keyboard computer Pentium II yang kubeli awal tahun 2000-an.
Sangat berbanding terbalik dengan hatiku yang benar-benar hancur selayak
Hiroshima tahun 1945. Lebam dan makin lebam seperti dikikis radiasi nuklir.
Sebuah efek bola salju yang entah sampai kapan aku mampu menahannya.
Tombol yang begitu
sering kutekan : delete. Karena berkali-kali aku salah mengetik eja dengan
benar karena konsentrasiku yang sering terkalahkan oleh lelah dan galau. Aku
mual. Pening. Berkeringat dingin. Semua terasa sungguh sakit membabi buta.
Aku mesti
puas, sedih atau galau. Nyata-nyata pagi ini bangunku tanpa mendapati isteriku
dan ketiga anakku. Sepi sudut rumah serupa melompongnya hatiku tanpa mereka.
Tentu ini bukan kondisi terbaik bagiku. Suwung.
"Mas, aku tak tahu mesti berkata apa. Aku menyesal mendapati kehangatanmu pada keluarga kita berubah. Kuharap kau mau mengerti betapa aku masih selalu menyayangimu bahkan delalu i sela-sela do'aku masih tersisip namamu. Jemput kami jika kau sudah kembali. Kembali sebagai suamiku dan ayah anak-anak kita, Mas." Kulipat selembar surat istriku yang tergeletak diatas ranjang. Cuma itu yang tersisa. Dan secarik itu makin menghantam dadaku. Aku makin luluh-lantak. Bening hangat menggelinding di kedua pipiku.
Dengan segala
keletihan ini aku masih bertahan untuk menyelesaikan sebuah epik yang
terbingkai dalam cerpen. Yang memang sependek umurku. Akupun lelah menjadi
harimau yang harus menerkam kalian, keluargaku. Sebenarnya aku bukan harimau
tulen. Aku rusa yang mesti merasa sebagai harimau karena sebab. Ketahuilah
bahwasanya kebrutalanku adalah cintaku. Kangker otak stadium empat ini
memaksaku menjauhkan kalian atasku. Teramat tiada kerelaan andai aku melihat
buliran air mata kalian menangisi sakaratul mautku. Karena aku lagi-lagi tiada
kerelaan kau menangisi jasadku dengan cintamu. Biarlah aku terkubur bersama cinta
dan sayangku padamu keluargaku.
Mungkin inilah
mangsa labuhku. Transisi dunia yang berefek pada sakit di titik kulminasi. Sesaat
kurasa lubang hitam menyedotku amat kuat menuju cahaya diatas cahaya. Berikutnya
dunia menggulita……………………………………………….